Inilah kasus-kasus penistaan agama di Indonesia, 'subjektif' dan 'ada tekanan massa'
sumber: http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-38001552
Dalam lebih 40 tahun terakhir, kasus penodaan agama di Indonesia memiliki "pola yang sama" dan berbagai kasus selalu diawali dengan demonstrasi massa dan penegak hukum menjadikan alasan keresahan masyarakat akibat aksi massa ini, termasuk yang terjadi pada petahana Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, menurut pengamat Nahdlatul Ulama, NU.
Ahok ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian Rabu (16/11) terkait dugaan penistaan agama menyangkut ucapannya soal surat Al Maidah 51 pada September lalu di Pulau Seribu.
Rumadi Ahmad, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU), mengatakan berbagai kasus penistaan ini, termasuk HB Yasin dan Arswendo Atmowiloto muncul akibat tekanan massa dan bersifat subjektif.
"Bersifat subjektif dari berbagai macam riset, termasuk peneliti dari Amerika. Defisi penodaan agama tak jelas. Seperti pasal karet yang bisa dikenakan kepada siapa saja, walaupun orang itu tak punya intensi atau niat untuk melakukan penodaan agama.
"Tapi apa yang dilakukan menimbulkan kemarahan sejumlah orang, masyarakat dibuat resah. Keresahan itu yang dijadikan alasan orang ini melakukan penodaan agama," kata Rumadi kepada wartawan BBC Indonesia, Endang Nurdin.
"Demo dan aksi dianggap sebagai keresahan masyarakat sehingga tindakan orang itu dikatakan mengganggu ketertiban umum," tambahnya.
Rumadi, yang melakukan riset kasus-kasus penodaan agama di Indonesia mulai dari kasus HB Jassin pada 1968, mengatakan hampir tak ada kasus penistaan yang tak melibatkan massa.
"Ada pola yang sama dari kasus pernistaan agama di indonesia. Hampir tak ada kasus yang tidak melibatkan massa. Kasus ini selalu diawali dengan demonstrasi dan pengerahan massa oleh sejumlah orang, diikuti tindakan aparat penegak hukum, menjadikan tersangka, diadili di pengadilan dan dihukum sekian tahun."
"Dan ada kecenderungan semakin kuat tekanan masa, hukuman lebih tinggi. Tekanan masa berimplikasi berapa tahun dia akan dipidana," kata Rumadi.
Inilah kasus-kasus penistaan agama di Indonesia:
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, - pernyataan terkait Surat AlMaidah 51, 2016
Ahok dijadikan tersangka terkait pernyataannya yang menyebutkan saingannya dalam pencalonan gubernur DKI Jakarta menggunakan Surat Al Maidah 51, pernyataan yang kemudian viral dan menimbulkan demonstrasi besar bulan lalu dan yang terbesar pada tanggal 4 November lalu.
Ahok sendiri -di tempat kampanye di kawasan Menteng, Jakarta- mengatakan "menerima" keputusan menjadikannya tersangka yang ia sebutkan sebagai "contoh yang baik untuk demokrasi".
"Dalam kasus Ahok, saya sudah lama duga Ahok akan dijerat, entah jadi tersangka, atau masuk pengadilan karena melihat kasus penodaan agama sejak tahun 1969 selalu begitu. Dan kalau ada kasus yang tak melibatkan massa, ada kecenderungan orang itu lolos dari jeratan hukum," kata Rumadi.
Besarnya efek media sosial juga semakin memicu besarnya tekanan massa ini, kata Rumadi.
Melalui Facebook BBC Indonesia, banyak yang menyambut pengumuman polisi terkait status Ahok menjadi tersangka namun tak sedikit yang mengecam.
Akun atas nama Wisye Supit antara lain menulis, "Saatnya mengheningkan cipta....Hari berkabung nasional...Rip bahasa dan hukum Indonesia," sementara Ca Hasbiy menyatakan, "Membawa kasus ini ke meja hijau secara adil dan transparan akan memperkuat kepastian hukum di Indonesia dan menjaga keutuhan NKRI yg berdasarkan Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika sbg semboyan berbangsa dan bernegara."
Lia Aminudin, atau Lia Eden - mengaku sebagai imam Mahdi dan mendapat wahyu dari malaikat Jibril, 2006
Lia -yang mengaku pernah bertemu Bunda Maria- dijebloskan ke penjara dua kali.
Pertama pada Juni 2006, divonis dua tahun karena terbukti menodai agama dan tiga tahun kemudian pada 2009 juga dengan alasan yang sama setelah polisi menyita ratusan brosur yang dinilai menodai agama.
Arswendo Atmowiloto - penulis yang dijeboloskan penjara karena survei tabloid Monitor, 1990
Penulis dan wartawan Arswendo Atmowiloto dipenjara selama empat tahun enam bulan, keputusan banding di Pengadilan Tinggi dan Mahkahmah Agung, terkait survei untuk tabloid Monitor dengan lebih 33.000 kartu pos dari pembaca.
Dalam survei tokoh pilihan pembaca tersebut, Presiden Soeharto kala itu berada di tempat pertama sementara Nabi Muhammad di urutan ke-11.
Survei ini menimbulkan aksi massa.
HB Jassin, cerpen Langit Makin Mendung, 1968
Sastrawan HB Jassin banyak dikritik setelah menerbitkan cerita pendek Langit Makin Mendung karena penggambaran Allah, Nabi Muhammad dan Jibril dan menyebabkan kantor majalah Sastra di Jakarta diserang massa.
HB Jassin telah meminta maaf namun tetap diadili karena penistaan dan dijatuhi hukuman percobaan selama satu tahun.
Kasus-kasus di atas, menurut Rumadi Ahmad, "Dari HB Jassin, Arswendo, (Lia Aminudin), yang dijadikan argumen bukan semata-mata dia memenuhi norma penodaan agama dalam kasus 156a KUHP tapi yang jadi pintu masuk utama apakah ada keresehan sejumlah orang atau tidak."
Rumadi menyebut sejumlah kasus yang tidak menimbulkan aksi massa besar dan tertuduh tidak sampai dijebloskan ke penjara.
Kasus yang disebut Rumadi termasuk Teguh Santosa, pemimpin Rakyat Merdeka online pada tahun 2006 dan harian The Jakarta Post pada 2014.
Preseden buruk
Teguh dilaporkan ke polisi karena menerbitkan karikatur Nabi Muhammad seperti yang dinaikkan koran di Denmark, Jylland Posten dan pemimpin redaksi The Jakarta Post, Meidyatama Suryodingrat, diadukan karena membuat karikatur bergambar kelompok ISIS dengan lambang tengkorak dan ada tulisan Allah.
"Kasus Teguh Santosa misalnya, ada kalangan yang meributkan, menuduh menyebarkan kartun. Tapi tak ada desakan massa, dia diajukan ke pengadilan tapi divonis bebas."
Sementara itu Setara Institute untuk Demokrasi dan Perdamaian menyatakan kasus penodaan agama terkait Ahok merupakan "preseden buruk" bagi demokrasi.
Hendardi, Ketua Setara Institute, mengatakan, "Penetapan status tersangka atas Basuki Tjahaya Purnama dalam kasus dugaan penodaan agama adalah preseden buruk bagi promosi pemajuan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia karena penegakan hukum atas dugaan penodaan agama tidak sepenuhnya dijalankan dengan mematuhi prinsip due process of law (proses hukum)".
Hendardi mengatakan penggunaan Pasal 156a KUHP "di tengah kontestasi politik Pilkada DKI, menegaskan bahwa Basuki terjebak pada praktik politisasi identitas yang didesain oleh kelompok-kelompok tertentu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar