Rabu, 23 November 2016

Tidak menerima kekalahan, bukti ketidakdewasaan dalam berpolitik

sumber: https://muantep.wordpress.com/2008/04/21/tidak-menerima-kekalahan-bukti-ketidakdewasaan-dalam-berpolitik/
Mencermati Pilkada belakangan ini memang sedikit ironis, banyak sekali sengketa yang terjadi. Mulai dari Pilkada Malut yang sampe sekarang masih blom selesai, trus Jabar yang mengklaim terjadi banyak kecurangan (meskipun telat klaimnya, lucu juga ya), berlanjut ke Sumut yang mengklaim banyak warga yg tak bisa ikut pilkada (sekali lagi, telat klaimnya, setelah tau calonnya kalah, tidak dari awalnya komplain).
Klo kita cermati partai-partai besar itu jika mereka kalah dengan partai kecil, bisa dipastikan akan terjadi sengketa. Sebagai contoh nyata setiap calon dari PKS menang, ujungnya pasti banyak yang tidak bisa menerimanya dengan lapang dada. Berbeda sekali dengan Pilkada yang sudah terjadi di Jakarta, meskipun baru dinyatakan kalah oleh hasil quick count, secara jantan pasangan Adang-Dani langsung mengucapkan selamat kepada pasangan Fauzi Bowo-Prijanto. Dan kalaupun PKS menemukan ada kecurangan, mereka langsung melaporkannya pada yang berwenang untuk diproses secara hukum, tidak dengan aksi-aksi yang bisa menimbulkan keresahan masayarakat.
Memang sangat sulit untuk membiasakan diri untuk menerima kekalahan, apalagi mereka sudah berkorban miliran rupiah. Tapi harus ada pembelajaran untuk itu. Selama pembelajaran itu tidak berjalan, jangan berharap demokrasi di negeri ini berjalan dengan baik. Ngomong-ngomong masalah menerima kekalahan, ada sebuah cerita menarik dari seorang bocah. Ceritanya begini, Pada suatu hari seorang bocah sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba balapan mobil-mobilan (ya semacam tamiya gitu kali). Pada esok hari tiba waktunya dia ikut dalam perlombaan itu, sebelum lomba dimulai bocah itu menangis tersedu-sedu. Temen-temennya yang laen heran bukan kepalang, biasanya kan menangis klo dah selesai lomba trus kalah. Kemudian ada seorang temennya bertanya “Hey, kenapa kamu menangis?”, kemudian si bocah menjawab “Aku hanya meminta pada Allah supaya diberikan keikhlasan, kelapangan jika nanti aku kalah dalam perlombaan ini”. Mendengar ucapan itu, temen-temennya hanya manggut-manggut aja. Tapi hasilnya ternyata dia yang memenangkan perlombaan itu. Itu tadi sepenggal kisah seorang bocah dengan hati yang mulia.
Kembali lagi ke permasalahan tadi, seharusnya para polotikus itu banyak belajar dari kisah bocah ini. Kebanyakan mereka selalu berharap calon merekalah yang menang apapun yang terjadi. Tidak pernah membayangkan suatu saat akan mengalami kekalahan. Dan begitu mereka kalah, merasa tidak masuk akal, lawong dulu partainya dominan kok. Harusnya kalau mau berpikir positif, mereka akan mengevaluasi diri kenapa bisa terjadi seperti itu.
Dan yang lebih anehnya lagi, tokoh yang disebut-sebut sebagai orang yang memegang teguh demokrasi, malah sering merusak demokrasi. Mulai dari sikap diktatornya yang membuat partainya pecah, udah gitu nyalahin SBY-JK sebagai biang perpecahan partainya lagi. Trus membuat pernyataan bahwa Pilkada jabar itu penuh dengan konspirasi (waduh, jangan asal “njeplak sak karepe dhewe” pak, masyarakat dah bosan dengan intrik-intrik politik seperti itu). Konsep pemilihan secara langsung harus diakui sebagai konsep yang baik, namun harus juga diimbangi dengan kesiapan moral dari semua pihak. Semoga masyarakat kita semakin dewasa dalam menyikapi segala permasalahn politik seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar